T |
ahun baru suasana baru, senyum tawa dan canda menyatu, sedih dan duka kian terusik. Melewati musim final bagi kalangan akademia kampus merupakan suatu perjuangan. Perjuangan mati-matian untuk mendapatkan apa yang diharapkan. Dan ijinkan saya untuk berkata bahwa perjuangan tersebut semata-mata hanya bertujuan untuk mencari nilai yang lebih tinggi, bukan untuk mencari ilmu yang kelak akan bermanfaat dalam kehidupan kita. Hal ini telah menjadi tradisi dan membudaya bagi sebagian besar kalangan mahasiswa.
Dalam mewujudkan perjuangannya tersebut maka cara dan langka-langkahnya pun juga bervariasi. Ada yang langsung jatuh cinta sama buku-buku tebal atau istilah trendnya sekarang adalah SKS (Sistem Kebut Semalam). Kutu buku tidak jaman lagi dan dianggap ketinggalan fashion. Cara lain yang popular juga adalah POS YANDU (Posisi Yang Du…du…Menentukan). Selain itu bermunculan juga yang menamakan dirinya TIM TAWAKAL ( Tiba Masa Tiba Wawasan Dan Akal) dan yang paling mujarat juga adalah yang dapat memanfaatkan situasi PDKT dengan cara apapun itu, tong kosong pun juga bisa, dan bila dosennya memiliki filter suara yang tidak bisa membedakan mana rekaman asli dan mana rekaman dadakan, maka munculah sosok baru yang siap tampil dalam audisi. Selain cara tersebut diatas, bermacam cara lainnya. Namun semua itu merupakan suatu usaha mendapatkan nilai rakitan dari dosen penanggung jawab mata kuliah.
R |
akitan disini dalam artian sesuatu yang dibuat sesuai dengan pola yang ada. Jadi nilai rakitan adalah nilai yang dibuat oleh dosen dengan berpedoman pada lembar jawaban yang dikumpul setelah mid dan final semester. Lembar jawaban inilah yang menjadi tolak ukur dan menyeleksinya siapa yang akan menjadi pemenang audisinya. Tentunya yang paling tinggi nilai dan IP-nya adalah pemenangnya dan dianggap paling hebat dan seolah-olah ia adalah pahlawan baru yang berhasil merobohkan pertahanan musuh. Tapi apakah kita pernah berpikir dan bertanya bahwa mendapat gelar pahlawan tersebut apakah sudah sesuai dengan skill yang kita miliki?Apakah kita telah memilih cara perjuangan yang wajar atau tidak? Murni tidak ? berilmu tidak?
Namun hal tersebut tidak mendapat sedikitpun tempat di sel otak kita sebagai bahan renungan, utamanya oleh dosen-dosen kita, yang bagus rakitan nilainya adalah tetap pemenangnya, tidak mengenal mana rasa manis, pahit dan asem, tapi yang dicari adalah mana warna yang paling mencolok dan indah itu pulalah yang menjadi biangnya. Dari sini mungkin saja muncul rasa ketidakadilan. Bagaimana tidak, secara personal mungkin mahasiswa tertentu yang serajin-rajinnya sampai-sampai tak sedetikpun kuliahnya yang bolong hingga tugas sampai pada mid-finalnya yang cukup komplite dan murni jerih payahnya namun hasilnya harus error tertindas oleh mahasiswa pemburuh absensi yang sekilas membawah tong kosong yang nyaringnya beratus-ratus kali lipat. Dari sini muncullah ajang audisi pemilihan suara ternyaring dan terhebat se-universitas, se-fakultas hingga merebak ke lembaga-lembaga mahasiswa yang tidak disertai dengan aplikasi lanjutan dalam bentuk kegiatan yang nyata dan bermanfaat, meskipun ada hanya sebatas ajang hura-hura orasi, demo yang berujung anarkis pula.
D |
ibalik audisi ini, kita juga telah panda-pandainya memilih audisi mana yang akan kita ikuti. Suatu audisi yang paling marak dan membudaya juga bagi kita kalangan mahasiswa. Audisi ini terkenal dengan istilah pencari ilmu atau penacari ijazah. Tentunya pilihan pavorit adalah pencari ijazah. Karena kita memang diajar hanya sekedar untuk mencari nilai dan ijazah, bukan ilmu. Bagaimana tidak kalau dosen kita sendiri yang juga tengah mengikuti audisi baru. Audisi mengajar atau penggalang proyek yang seolah-olah lupa akan tugas utamanya sebagai dosen.
Hal ini berdasar pada realita yang ada. Dosen dalam kacamata tanggung jawab adalah menimbahkan ilmunya kepada insan akademia kampus. Tapi bagaimana hal itu bisa terjadi jika ada mangsa di luar sana yang lebih enak dan lezat untuk menambah gizi dompet agar lebih tebal. Untung kalau masih sempat bertatapan dengan mahasiswanya sesuai jadwal yang telah ditentukan yang durasinya hanya kurang lebih satu setengah jam saja. Tapi kalau jam itu selalu bolong dengan alasan ada tugas lain, hal itupun mendapat seruan tepuk tangan meriah oleh sebagian besar mahasiswa. Saat seperti inilah terkadang muncul jadwal baru yang dapat mengganggu jadwal mahsiswa lainnya. Atau paling tidak sebagi penggantinya adalah mengerjakan tugas diktat atau modul yang sekian tebalnya yang dibuatnya sendiri dan dijualnya dengan harga yang tidak bisa terjangkau oleh sebagian mahasiswa yang hanya bermodalkan tekad dan keberanian saja. Masih untung juga kalau mahasiswanya gemar membaca diktat. Dosen sendiri saja yang langsung membawakan materri kuliah di depan kelas belum tentu diktat itu akan tersentuh. Karena memang membaca, menulis, ataupun diskusi bukan budaya menarik di kalangan mahasiswa. Kalaupun ada palingan membaca komik novel dan sejenisnya. Budaya diskusi pun semakin kering dikalangan mahasiswa, kalupun itu hanya ada pada lembaga-lembaga mahasiswa. Itupun hanya secara kecil-kecilan dengan topic pun hanya berkisar tentang mencari kekurangan dan kelemahan suatu kebijakan instansi ataupun personal sebagai modal untuk tindak lanjut berupa aksi , demo atau orasi dalam menuntut sesuatu yang dianggapnya tidak wajar.
D |
hik@PH06-UH
dapat diakses bersama tulisan-tulisan lainnya di situs online mozilla firefox
0 komentar:
Post a Comment