Global Warming
Pemanasan Global (Global Warming) yang semakin marak di media akhir-akhir ini menjadi perhatian publik. Kondisi bumi semakin hari semakin tidak menentu ini layaknya sebuah ancaman yang tidak terduga kapan dan di mana akan meretas. Bencana alam kian menggetarkan jiwa dan raga membutuhkan kewaspadaan dini. Luapan air laut mengancam kehidupan pemukiman sekitar pantai semakin meningkat sekitar 10-20 cm per tahun. Suhu bumi semakin panas dan bertambah rata-rata 3,50C berdasarkan perkiraan para ahli emisi gas ’rumah kaca’ atmosfer. Ditambah pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat di setiap tahunnya akan menambah aktivitas manusia yang beraneka ragam pula. Paling tidak kegiatan mereka mendukung alam dan bahkan sebaliknya justru berdampak pada Global Warming (pemanasan Global) tanpa di sadarinya. Penggunaan alat elektornik seperti kulkas, AC, Farfum yang merupakan kebutuhan sehari-hari justru mengancam kehidupan kita di bumi. Kandungan karbondioksida (CO2), metana (H4), Nitrogen (N2O) dan lain-lain semakin meningkat akibat perbuatan manusia sendiri. Gas-gas tersebut memiliki sifat meneruskan radiasi gelombang pendek atau cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan bumi bersifat panas sehingga meningkatkan suhu atmosfer bumi.
“Bumi ini cukup untuk menampung bermiliar-miliaran penduduk tetapi tidak akan cukup untuk satu orang yang serakah”. Sebuah kutipan dari Mahatma Gandhi ini memang menggambarkan keserakahan negara-negara maju. Kita lirik negara-negara berkembang yang nyata-nyata kontribusi sumbangan gas emisinya jauh lebih rendah tapi justru meratifikasi protocol kyoto tanpa banyak pertimbangan. Termasuk Indonesia sendiri yang telah menandatanganinya sejak desember 2004 lalu. Amerika serikat sendiri menarik dukungannya akibat pertumbuhan ekonominya akan terkurangi sekitar 60% di sektor industri. Bukankah itu hanya sebagai ajang persaingan ekonomi yang akan berdampak pada ancaman pemanasan bumi? Termasuk negara maju lainnya, Jepang, Australia Dan Rusia yang merupakan panghasil gas emisi terbesar tetapi kesadarannya akan hasil konfrensi itu tidak terlihat ada rekasi untuk meratifikasinya. Namun november 2004, Rusia berkecil hati meratifikasinya itu pun karena ada unsur yang menguntungkan tersendiri.
Desember 2007 lalu di Nusa Dua, Bali diadakan ‘Climate Change Confrence’ yang di hadiri oleh sekitar 180 negara atau sekitar sepuluh ribu orang.Namun keputusan dan kesepakatan semakin sulit tercipta karena pendapat-pendapat hanya berdasar pada ke-ego-an masing-masing negara. Bahkan hampir saja pembicaraan dalam konfrensi tersebut melenceng dari agenda. Perubahan iklim dalam pembahasan tersebut masih sempat menyinggung tentang perdagangan emisi yang hanya bisa dijalankan oleh negara-negara maju. Hal ini membuang-buang waktu dan biaya saja dan hasilnya cuma kepentingan negara-negara kapitalis. Amerika, Jepang, dan Austrlia awalnya tidak menunjukkan reaksi setuju akan keputusan pengurangan gas emisi tersebut, tapi karena desakan negara-negara lain akhirnya menyetujui meskipun kelihatan sekadar terpaksa. Keputusan tersebut tidak ada implikasi yang nyata dan hanya menagguhkan dengan adanya pertemuan lanjutan Word Ocean Confrence tahun 2009 mendatang di Sulawesi Utara, Minahasa. Sebuah prediksi, jika tekanan ekonomi akan dibawa-bawa dalam konfrensi tersebut maka hasilnya sama yaitu pertemuan lanjutan juga.
Inilah kisah perjalanan yang kutorehkan
Ketika jarak yang terbentang jauh
dan kata-kata semakin sulit terucap
http://andika-wirawan.blogspot.com
0 komentar:
Post a Comment