RSS

PEMANASAN GLOBAL AJANG PERSAINGAN KAPITALIS

Global Warming

Pemanasan Global (Global Warming) yang semakin marak di media akhir-akhir ini menjadi perhatian publik. Kondisi bumi semakin hari semakin tidak menentu ini layaknya sebuah ancaman yang tidak terduga kapan dan di mana akan meretas. Bencana alam kian menggetarkan jiwa dan raga membutuhkan kewaspadaan dini. Luapan air laut mengancam kehidupan pemukiman sekitar pantai semakin meningkat sekitar 10-20 cm per tahun. Suhu bumi semakin panas dan bertambah rata-rata 3,50C berdasarkan perkiraan para ahli emisi gas ’rumah kaca’ atmosfer. Ditambah pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat di setiap tahunnya akan menambah aktivitas manusia yang beraneka ragam pula. Paling tidak kegiatan mereka mendukung alam dan bahkan sebaliknya justru berdampak pada Global Warming (pemanasan Global) tanpa di sadarinya. Penggunaan alat elektornik seperti kulkas, AC, Farfum yang merupakan kebutuhan sehari-hari justru mengancam kehidupan kita di bumi. Kandungan karbondioksida (CO2), metana (H4), Nitrogen (N2O) dan lain-lain semakin meningkat akibat perbuatan manusia sendiri. Gas-gas tersebut memiliki sifat meneruskan radiasi gelombang pendek atau cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan bumi bersifat panas sehingga meningkatkan suhu atmosfer bumi.

Konfrensi Bukan Solusi Mengatasi Global Warming

Konfrensi pertama kali diadakan oleh PBB tentang Lingkungan Hidup (Human Environmental) pada tahun 1972. Tahun 1992 di gelar konfrensi bumi Di Rio de Jainero. Dalam konfrensi ini ditandatangani konvensi PBB untuk ‘Perubahan Iklim’, United Nation Framework Convention Of Climate Change (UNFCCC) yang bertujuan menstabilkan gas rumah kaca di atmosfer. Desember 1997 di Kyoto, Protokol kyoto di tandatangani oleh 84 negara dan tetap terbuka untuk di tandatangani/ di akses sampai maret 1999 oleh negara-negara lain di markas besar PBB, New York. Protokol ini bekomitmen bagi 38 negara industri untuk memotong emisi Gas Rumah Kaca (GRK) antara tahun 2008 samapai 2012 menjadi 5,2 persen di bawah tingkat GRK tahun 1999. Tapi apa hasil dari semua kofrensi tersebut? Sama sekali tidak ada reaksi yang nyata akan mendukung program yang telah disepakati tersebut. Terutama dengan negara-negara maju yang masih membusungkan dada sebagai negara berkuasa yang hanya berpikir jangka pendek pada perkembagngan ekonomi demi pertahanan negaranya dari ancaman negarag lain. Konfrensi tidak berarti apa-apa, penggunaan emisi gas oleh negara maju justru meningkat.

Ajang Persaingan Negara Kapitalis

“Bumi ini cukup untuk menampung bermiliar-miliaran penduduk tetapi tidak akan cukup untuk satu orang yang serakah”. Sebuah kutipan dari Mahatma Gandhi ini memang menggambarkan keserakahan negara-negara maju. Kita lirik negara-negara berkembang yang nyata-nyata kontribusi sumbangan gas emisinya jauh lebih rendah tapi justru meratifikasi protocol kyoto tanpa banyak pertimbangan. Termasuk Indonesia sendiri yang telah menandatanganinya sejak desember 2004 lalu. Amerika serikat sendiri menarik dukungannya akibat pertumbuhan ekonominya akan terkurangi sekitar 60% di sektor industri. Bukankah itu hanya sebagai ajang persaingan ekonomi yang akan berdampak pada ancaman pemanasan bumi? Termasuk negara maju lainnya, Jepang, Australia Dan Rusia yang merupakan panghasil gas emisi terbesar tetapi kesadarannya akan hasil konfrensi itu tidak terlihat ada rekasi untuk meratifikasinya. Namun november 2004, Rusia berkecil hati meratifikasinya itu pun karena ada unsur yang menguntungkan tersendiri.

Desember 2007 lalu di Nusa Dua, Bali diadakan ‘Climate Change Confrence’ yang di hadiri oleh sekitar 180 negara atau sekitar sepuluh ribu orang.Namun keputusan dan kesepakatan semakin sulit tercipta karena pendapat-pendapat hanya berdasar pada ke-ego-an masing-masing negara. Bahkan hampir saja pembicaraan dalam konfrensi tersebut melenceng dari agenda. Perubahan iklim dalam pembahasan tersebut masih sempat menyinggung tentang perdagangan emisi yang hanya bisa dijalankan oleh negara-negara maju. Hal ini membuang-buang waktu dan biaya saja dan hasilnya cuma kepentingan negara-negara kapitalis. Amerika, Jepang, dan Austrlia awalnya tidak menunjukkan reaksi setuju akan keputusan pengurangan gas emisi tersebut, tapi karena desakan negara-negara lain akhirnya menyetujui meskipun kelihatan sekadar terpaksa. Keputusan tersebut tidak ada implikasi yang nyata dan hanya menagguhkan dengan adanya pertemuan lanjutan Word Ocean Confrence tahun 2009 mendatang di Sulawesi Utara, Minahasa. Sebuah prediksi, jika tekanan ekonomi akan dibawa-bawa dalam konfrensi tersebut maka hasilnya sama yaitu pertemuan lanjutan juga.

Inilah kisah perjalanan yang kutorehkan

Ketika jarak yang terbentang jauh

dan kata-kata semakin sulit terucap

http://andika-wirawan.blogspot.com

0 komentar: